Pesan Sederhana dari Film Jojo Rabbit dan Zootopia

     


       Sebuah film bisa beraneka ragam jenisnya, dan beraneka ragam pula tujuan serta maknanya. Ketika selesai menonton sebuah film, biasanya kita bisa menilai film tersebut bagus atau kurang bagus berdasarkan kesan yang dibawa oleh film tersebut. Kesan itu bisa berupa sentuhan emosional, atau bisa juga kesan yang memicu respons intelektual kita, sehingga dapat membuat kita merenungkan suatu hal atau persoalan tertentu.
Biasanya, film mengandung salah satu diantara macam kesan tersebut, entah berfokus pada sisi emosional, membuat kita gembira atau sedih, ataupun memicu pikiran kita untuk memperhatikan persoalan yang dibawa oleh film tersebut. Kalau beruntung, kita bisa menemukan film yang membawa kesan emosional dan intelektual sekaligus, sebut saja film Arrival, Interstellar, atau The Prestige
Salah satu film  yang menarik untuk dibahas adalah Jojo Rabbit, sebuah film drama komedi perang yang penuh satir dan seringkali mengandung dark comedy yang mungkin saja membuat para penonton tidak nyaman. Secara umum, penggambaran film ini berlatar pada tahun 1945, terpusat kepada seorang anak berumur 10 tahun bernama Jojo. Anak berkebangsaan Jerman itu telah didoktrin dengan nasionalisme sempit ala nazi. Anak tersebut tumbuh dengan kebencian terhadap bangsa yahudi, meskipun didalam dirinya tersimpan kepolosan dan keluguan yang disembunyikan.
Sepanjang film, kita bisa melihat bagaimana anak tersebut menginterpretasikan ajaran-ajaran nazi dalam kehidupan sehari-harinya. Ia sangat mengidolakan Hitler, sampai-sampai ia jadikan teman khayalan yang selalu memberinya saran-saran dalam mengimplementasikan doktrin-doktrin nazi tersebut. Keluguan dan pemikiran radikal dari Jojo inilah yang menjadi komedi dari film ini. Jojo selalu menggambarkan bahwa orang yahudi adalah makhluk aneh yang bersayap dan bertanduk sehingga berbahaya dan patut dimusnahkan. Jojo telah didoktrin dengan ajaran nazi sejak kecil, yang bahkan ia sendiri tidak paham sepenuhnya mengenai ajaran tersebut. Dalam pikirannya hanya ada pengagungan hitler dan demonisasi yahudi.
Singkat cerita, anak ini akhirnya harus berkonfrontasi dengan kepercayaannya sendiri ketika ia menemukan seorang remaja perempuan yahudi yang diselamatkan ibunya untuk disembunyikan di rumahnya. Pada awalnya, ia sangat membenci remaja itu, dan menemuinya setiap hari hanya untuk menginterogasi yahudi tersebut layaknya nazi sungguhan. Namun, pada akhirnya ia menyadari bahwa orang yahudi tidak seburuk itu. Mereka bahkan tidak bersayap dan bertanduk, remaja yang ia temui pada akhirnya menyadarkan Jojo akan kekonyolan doktrin-doktrin yang ia percayai itu.
Dengan premis sederhana, film Jojo Rabbit membawa pesan sosial yang penting, bahwa setiap manusia itu setara dan tidak layak dibenci hanya karena ras dan perbedaan dasar lainnya. Doktrin-doktrin kebencian adalah kepercayaan konyol yang layak dijadikan komedi satir dan patut kita tertawakan bersama-sama. Segala bentuk pemikiran tertutup berakar dari budaya "kurang gaul" sehingga kita tidak mau melihat perspektif dari sudut pandang yang lain. Ketika kita berusaha memahami dan toleran terhadap hal yang bahkan kita benci sekalipun, maka dunia ini akan menjadi lebih damai sehingga dapat mencapai kemerdekaan sepenuhnya.
Pesan sederhana yang sama juga tersirat dari Film Zootopia. Film animasi ini rasanya sangat berbeda dari film-film animasi lainnya yang sudah saya tonton, terutama dari nilai moralnya. Biasanya, amanat dari suatu film anak-anak adalah mengenai persahabatan, kekeluargaan, dan persaudaraan. Zootopia membawa sesuatu yang berbeda, dengan plot cerita yang tetap menarik dan ringan untuk disukai segala kalangan umur.
Film animasi ini membawa kita kepada perjalanan sebuah cerita fabel, dengan karakter polisi kelinci yang bernama Hopps. Ia bekerja di sebuah pulau bernama Zootopia, dimana para hewan predator dan mangsanya dapat hidup dengan berdampingan. Saat itu ia mencoba menguak sebuah kasus hilangnya hewan-hewan predator, dibantu dengan partnernya seekor rubah. Ketika pada akhirnya mereka menemukan hewan-hewan tersebut, ternyata hewan yang mereka temukan berubah menjadi buas sehingga menjadi sangat berbahaya jika dibiarkan bebas.
Singkat cerita, ia menemukan bahwa pelaku utamanya adalah seorang wakil walikota yang merupakan seekor domba. Ia sengaja menyewa banyak hewan pemburu untuk mengubah para predator menjadi buas. Tujuan utamanya adalah untuk membentuk suatu stereotype bahwa predator itu berbahaya sehingga harus dijauhi, serta ia ingin menunjukkan bahwa predator dan mangsanya tidak bisa lagi hidup berdampingan.
Kalau mau dianalogikan, kedua film ini memiliki pesan yang sangat sama. Bahkan karakter-karakter dalam film dapat disetarakan. Misalnya antagonis utama dalam film Zootopia  memiliki peran yang hampir serupa dengan Adolf Hitler, sebagai penyebar pertama doktrin dan ajaran agar tercipta stereotype tang mengajak suatu kelompok untuk membenci kelompok yang lain. Ini menunjukkan bahwa budaya stereotyping dan pemikiran tertutup dapat memiliki pola yang sama berasal dari keinginan hanya satu orang tetapi dipaksakan kepada masyarakat banyak, sehingga dibuatlah kebohongan-kebohongan dan kepercayaan sesat untuk menumbuhkan fanatisme dan pemikiran yang radikal, berujung pada sikap kebencian terhadap sesama.
Pada intinya, film-film ini mengajak kita untuk menyadari bahwa seharusnya kita bisa selalu hidup berdampingan tanpa mengenal ras, agama, suku, budaya dan selalu melihat dari sudut pandang orang lain sehingga tidak mengedepankan ego kita sendiri. Di zaman yang sudah berkembang ini, sudah saatnya pikiran kita juga berkembang untuk keluar dari pemikiran sempitnya agar bisa mulai belajar berempati kepada orang lain, serta menyadari bahwa hanya kerugian yang kita dapat dari membuat sekat-sekat antara diri kita dan orang lain, antara kelompok kita dan kelompok lain.
Kedua film ini menyentuh dua aspek, sisi emosional dan intelektual. Jojo Rabbit mengajak kita untuk merenungi sejarah pengucilan bangsa yahudi pada masa nazi jerman, sementara itu, zootopia dengan penyampaian yang lebih ringan menyajikan suatu bentuk stereotyping dan betapa berbahayanya hal-hal tersebut bagi keberlangsungan perdamaian di tengah masyarakat. Dari film ini, kita juga bisa belajar memiliki empati terhadap para korban yang dikucilkan dengan stereotype dan menyadari bahwa kita semua sama, serta menekankan kenyataan bahwa kita semua dapat hidup berdampingan dengan rukun dan damai, apabila kita saling mengenal satu sama lain dengan pemikiran terbuka.  
     

       

Komentar

Postingan Populer